LINK STREAMING SJ RETURNS 4 SUB INDO
MAKALAH EKONOMI PERIKANAN DI KOTA GORONTALO
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Ekonomi
merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang
berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan
jasa. Istilah "ekonomi" sendiri berasal dari kata Yunani οἶκος
(oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan νόμος (nomos), atau
"peraturan, aturan, hukum," dan secara garis besar diartikan sebagai
"aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga."
Laut mengandung potensi ekonomi
(pembangunan) sangat besar dan beragam. Indonesia memiliki potensi perikanan
yang sangat besar, manakala dilihat dari sisi luasnya perairan lautan, letak
geografis, wilayah maupun panjang garis pantai. sumber
daya perairan berperan penting bagi pembangunan di Indonesia. Sumberdaya
pesisir dan kelautan merupakan potensi penting dalam pembangunan di masa depan.
Luas wilayah laut Indonesia adalah 62% dari luas wilayah nasional, belum
termasuk zona ekonomi eksklusif seluas 2,7 juta kilometer persegi. Laut
Indonesia yang begitu luas dengan sumber daya yang melimphah bila dimanfaatkan
untuk pembangunan dengan tepat diprediksikan pembangunan di Indonesia akan maju
dengan pesat. Berbagai kekayaan keanekaragaman hayati, dan jasa-jasa lingkungan
yang diberikan, sumberdaya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis
yang tinggi dan dapat dipergunakan dalam pembangunan. Pemanfaatan sumberdaya
perairan di Indonesia dalam pembangunan pada dasarnya untuk perbaikan kehidupan
umat manusia menuju arah yang lebih baik, terutama kehidupan sosial, ekonomi
dan budaya. Menurut data Kementrian Kelautan dan Perikanan, potensi perikanan
laut Indonesia sebanyak 6,4 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan yang
cukup tinggi sekitar 64 %. Dari potensi perikanan laut Indonesia sebanyak 6,4
juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan yang cukup tinggi sekitar 64 %.
(Manik, 2014)
Potensi yang dimiliki negara ini secara
nasional pada lahan perikanan budidaya sangat besar bisa dilihat dari 15,59
juta Ha, yang terdiri atas lahan budidaya air tawar 2,23 juta Ha, budidaya air
payau 1,22 juta Ha dan budidaya laut 8,37 juta Ha, sedangkan pemanfaatannya
saat ini masingmasing masih mencapai 16,62% untuk budidaya air tawar, sebanyak
50,06% untuk budidaya air payau dan 1,05% untuk budidaya laut. Produksi total
perikanan budidaya secara nasional pada tahun 2009 sebesar 4,78 juta ton.
Produksi yang dicapai saat ini masih rendah bila dibandingkan dengan potensi
lahan budidaya yang tersedia. Oleh karena itu peluang pengembangan masih sangat
luas.
Dengan potensi yang sebesar itu sektor
perikanan seharusnya dapat dikembangkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bermatapencaharian dibidang
perikanan, antara lain berupa pengembangan produk perikanan yang memiliki nilai
tambah melalui kegiatan industri perikanan. Akan tetapi sebagian besar rakyat
miskin justru mereka yang tinggal di pesisir dan pantai. Padahal Salah
satu sektor potensial adalah perikanan dan kelautan. Salah satu ikan yang
menjadi tangkapan nelayan Kota Gorontalo adalah ikan tuna. Selama tahun
2014-2015 ikan tuna merupakan jenis ikan yang paling banyak ditangkap oleh
nelayan di Kota Gorontalo. Tercatat bahwa pada tahun 2014 jumlah ikan tuna yang
dihasilkan seberat 5.246,9 ton turun menjadi 4.627,1 ton pada tahun 2015.
Selain ikan tuna, terdapat beberapa ikan hasil tangkapan perairan laut yaitu
ikan layang, selar, cakalang, tongkol, nike dan ikan lainnya. Sementara itu,
pada tahun 2015 potensi perikanan budidaya di Kota Gorontalo didominasi oleh
budidaya perairan dengan aktivitas keramba jaring apung (KJA) danau.
Hasil perikanan terbesar Gorontalo
diperoleh dari budidaya perikanan darat sebesar 115.4.77,39 ton atau 54,36
persen dari keseluruhan produksi yang mencapai 212.427,50 ton. Sementara hasil
perikanan laut sebesar 95.991 ton dengan 8.413 rumah tangga perikanan. Luas
areal rumput laut di Gorontalo sekitar 14.250 ha dengan produksi 99.454,4 ton.
Sedangkan luas areal perikanan tangkap kurang lebih 50.500 km2 dengan potensi
92.171 ton per tahun. Produksi perikanan di Kota Gorontalo, Provinsi
Gorontalo, pada tahun 2016 lalu mencapai 801.540 kilo gram (Kg), dengan jenis
ikan bandeng menjadi produksi terbanyak dengan total 214.460 kg. Data dari
Kementrian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa ekspor hasil perikanan
Gorontalo periode Januari-September 2018 mencapai 40,2 ton. Ekspor
ikan yang paling banyak dari Gorontalo didominasi oleh komoditas tuna, dan
udang vaname.
.
1.2
Tujuan
Adapun
tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui
bagaimana gambara umum ekonomi perikanan di Kota Gorontalo
2.
Mengetahui
jenis-jenis usaha/aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir Kota
Gorontalo
3.
Mengetahui
prinsip ekonomi dalam usaha perikanan.
4.
Mengetahui
bagaimana upaya yang harus dilakukan dalam pembangunan perikanan di Indonesia.
5.
Mengetahui
komoditas unggulan di Kota Gorontalo
6.
Mengetahui
strategi pembangunan yang digunakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Defenisi Ekonomi Perikanan
Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari
aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan
konsumsi barang dan jasa. Istilah "ekonomi" sendiri berasal dari kata
Yunani οἶκος (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan νόμος
(nomos), atau "peraturan, aturan, hukum," dan secara garis besar
diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah
tangga." Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah
orang menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja.
Perikanan memang semula berasal dari kegiatan hunting (berburu)
yang harus dibedakan dari kegiatan farming seperti budidaya.
Dalam artian yang lebih luas, perikanan tidak saja diartikan sebagai aktivitas
menangkap ikan (termasuk hewan invertebrate lainnya seperti funfish atau
ikan bersirip) namun juga termasuk kegiatan mengumpulkan kerang-kerangan,
rumput laut dan sumberdaya hayati lainnya dalam suatu wilayah geografis
tertentu dengan struktur kepemilikan yang kebanyakan bersifatcommon
property (milik bersama). Hal ini berbeda dengan budidaya atau aquacultureyang
berhubungan dengan sumberdaya yang dapat dikendalikan serta struktur
kepemilikan yang jelas (private property).
Ekonomi Perikanan merupakan bidang yang unik karena sifat sumber
dayanya fugitive dan kompleksitas pengelolaannya menuntut
kajian tersendiri.
2.2
Ruang Lingkup
Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup ekonomi perikanan ialah :
sumberdaya, alokasi, kebutuhan, permintaan, penawaran, harga keseimbangan, dan
pasar. Tetapi yang dibahas hanya tiga karena yang lainnya sudah diketahui
secara umum di perkuliahan.
Sumberdaya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur
tertentu dalam kehidupan. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik (intangible). Sumber daya ada yang dapat berubah, baik menjadi semakin besar maupun
hilang, dan ada pula sumber daya yang kekal (selalu tetap). Selain itu, dikenal
pula istilah sumber daya yang dapat pulih atau terbarukan (renewable
resources) dan sumber daya tak terbarukan (non-renewable resources).
Dan ada sumberdaya gabungan, yaitu SDA Biologis dan SD Tanah.
Alokasi merupakan penentuan banyaknya barang yang disediakan untuk
suatu tempat (pembeli dsb); penjatahan; penentuan banyaknya uang
(biaya) yang disediakan untuk suatu keperluan: pemerintah memberi dana
kepada tiap desa untuk membangun gedung sekolah dasar. Dalam hal ini
alokasi sumberdaya yang ada di suatu wilayah yang memilki potensi perikanan.
Kebutuhan merupakan salah satu aspek psikologi manusia untuk menggerakkan
dengan aktivitas-aktivitas yang menjadi dasar untuk melakukan sesuatu. Dalam
hal ini kebutuhan merupakan indikator suatu wilayah untuk melakukan suatu usaha
di bidang perikanannya khususnya.
2.3
Peran Ekonomi Perikanan
Dewasa ini kegiatan perikanan
sudah menjadi sumber energi bagi pertumbuhan ekonomi di beberapa negara. Hal
ini di sebabkan oleh peningkatan secara drastis dari produksi di sektor
perikanan dunia. Sebagian besar jumlah produksi perikanan dunia diperoleh dari
hasil penngkapan ikan di laut. Data FAO menunjukkan bahwa hampir 1 miliar
penduduk dunia, yang umumnya bertempat tinggal di negara berkembang
menggantungan dirinya pada kebutuhan protein hewani yang berasal dari hasil
laut.
Peningkatan peran ekonomi pada
sektor perikanan juga dapat dilihat dari
kontribusinya terhadap lapangan pekerjaan. Perikanan baik secara
langsung maupun tidak langsung memainkan peranan penting bagi jutaan orang yang
bermatapencaharian dalam sektor perikanan ini. Hampir seluruh masyarakat yang
tinggal di wilayah pesisir memiliki pekerjaan di sektor pertanian. Hal tersebut
menyebabkan rata-rata masyarakat pesisir yang tidak dapat bekerja di sektor
lain, memiliki peluang besar untuk berkontribusi dalam sektor perikanan. Hal
ini yang menyebabkan sekto pertanian menyimpan cukup banyak tingkat pertumbuhan
ekonomi dan menyediakan banyak lapangan pekerjaan bagi yang menginginkannya. Apabila
terus dikembangkan, sektor pertanian akan memberi dampak yang sangat bagus bagi
pertumbuhan ekonomi negara. Karena banyaknya negara-negara yang memanfaatkan
ikan sebagai sumber protein hewani mereka.
Peranan sub-sektor
perikanan dalam pembangunan
nasional yang utama adalah menghasilkan bahan pangan
protein hawani, mendorong
pertumbuhan agroindustri, sumber
devisa melalui peningkatan ekspor
hasil perikanan, menciptakan
lapangan kerja, peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani
ikan dan nelayan
serta menunjang pembangunan
daerah. (Tibrani,2018)
2.4
Potensi Ekonomi Perikanan
Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan
kelautan dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui 11
sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3)
industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5)
pertambangan dan energi (ESDM), (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8)
perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan
jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional. Total nilai ekonomi kesebelas
sektor ekonomi kelautan itu sekitar 1,2 trilyun dolar AS/tahun, dan dapat
menyediakan lapangan kerja sedikitnya untuk 40 juta orang. Sampai
sekarang, potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar itu baru dimanfaatkan
sekitar 22% dari total potensinya. Ibarat ‘Raksasa Ekonomi Yang
Tertidur’ .
Selain itu, posisi geoekonomi dan
geopolitik Indonesia juga sangat strategis, dimana 45% dari seluruh komoditas
dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 trilyun dolar
AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD,
2012). Wilayah NKRI yang diapit oleh Benua Asia dan Australia serta
Samudera Pasifik dan Hindia merupakan ’choke point’ yang sangat
menentukan pergerakan kapal-kapal perang maupun niaga dan dinamika politik
global, khususnya potensi konflik antara negara-negara besar seperti AS, China,
Jepang, India, dan ASEAN. Wilayah pesisir dan laut Indonesia juga
merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia dan penentu dinamika iklim
global.
Bila kita mampu membangun wilayah pesisir
dan lautan serta kekayaan alam yang terdapat di dalamnya secara produktif,
efisien, inklusif, dan ramah lingkungan. Maka, kita akan mampu mengatasi
sejumlah permasalahan utama bangsa, seperti pengangguran dan kemiskinan,
kesenjangan antara kelompok kaya vs miskin yang kian melebar, disparitas
pembangunan antar wilayah, buruknya konektivitas dan sangat mahalnya biaya
logistik (26% PDB), gizi buruk, dan rendahnya daya saing serta IPM (Indeks
Pembangunan Manusia) Indonesia.
2.5
Manfaat Ekonomi Perikanan
Sektor
perikanan dapat memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Berikut
beberapa manfaat ekonomi sektor perikanan :
1.
Memenuhi kebutuhan
pangan dan gizi masyarakat.
Ikan merupakan
lauk sumber protein hewani yang bak bagi perkembangan tubuh manusia. Juga
mengandung omega 3 yang aik bagi perkembangan otak manusia. Sehingga
keberadaannya sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan gizi tersebut. Demi
generasi penerus bangsa yang sehat dan pintar.
2.
Memberikan
penghasilan bagi masyarakat terutama mereka yang hidup di daerah dekat perairan.
Masyarakat di daerah pesisir atau perairan mayoritas
menggantungkan hidupnya pada hasil menangkap ikan (nelayan). Mereka menangkap
ikan dan menjualnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3.
Menaikkan derajat
ekonomi rakyat.
Penghasilan yang diperoleh masyarakat dari penjualan
ikan adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Jika penjualan tersebut
memberikan hasil yang besar, akan terjadi lonjakan pemenuhan kebutuhan. Dari
pemenuhan kebutuhan primer, menjadi kebutuhan sekunder bahkan tersier. Hal ini
dikarenakan derajat ekonomi yang meningkat.
4.
Membantu
pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan ekonomi rakyat yang baik (pada poin 3)
secara otomatis memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional yang baik pula.
5.
Membantu pemenuhan
pangan dunia sebagai pemasok (ekspor) perikanan.
Seperti halnya masyarakat Indonesia, penduduk dunia
pun membutuhkan ikan untuk pemenuhan pangan dan gizinya. Apabila di dalam negerinya
tidak tercukupi, tentu mereka akan mengimpor. Di sinilah kesempatan baik
Indonesia untuk memasok (mengekspor) ikan-ikan pada negara-negara yang
memerlukan.
6.
Meningkatkan
devisa negara.
Dari hasil
ekspor perikanan pada poin 5 (lima) secara otomatis akan memberikan
(meningkatkan) devisa bagi negara.
Semua manfaat tersebut di atas
dapat tercapai jika pemanfaatan sektor perikanan dilakukan dengan baik dan
benar. Maksudnya, eksplorasi dan eksploitasi perikanan dilakukan dengan tidak
sembarangan dan dipantau oleh pihak yang bertanggung jawab (pemerintah). Di
samping itu, perlu diadakannya budidaya agar keberlangsungan sumber daya
perikanan tetap terjaga. Karena sektor ini termasuk dalam sumber daya yang bisa
pulih namun terbatasi. Artinya, meski sumber daya diambil dan dimanfaatkan, ia
akan ada lagi dan lagi. Disebabkan luasnya wilayah kelautan. Namun di sisi lain
ia terbatasi, yaitu oleh faktor pembatas alami dan pembatas non alami.
Faktor pembatas alami adalah
faktor penghambat ketersediaan sumber daya ikan dikarenakan ekosistem itu sendiri.
Misalnya ketersediaan makanan untuk kelangsungan hidup ikan-ikan, persaingan
ruang hidup, predator, bencana alam, dan sebagainya. Sedang faktor pembatas non
alami ialah faktor penghambat ketersediaan sumber daya ikan dikarenakan adanya
pencemaran lingkungan dan eksploitasi oleh pihak-pihak tertentu. Karena adanya
faktor-faktor pembatas itulah perlu adanya budidaya dan pengelolaan yang baik
untuk menjaga kelestarian sumber daya perikanan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Gambaran Umum
Sebagaimana telah dibahas di atas,
perikanan merupakan sektor yang sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini
dikarenakan sektor perikanan memegang peranan penting bahkan dulu dapan sejarah
peradaban manusia. Menurut Hempel dan Pauly perikanan merupakan kegiatan
eksploitasi sumber daya hayati dari laut. Dalam artian yang lebih luas, perikanan
tidak saja diartikan aktivitas menangkap ikan (termasuk hewan invertebrata
lainnya seperti finfish atau ikan bersirip) namun juga termasuk kegiatan
mengumpulkan kerangkerangan, rumput laut dan sumber daya hayati lainnya dalam
suatu wilayah geografis tertentu. Salah satu sektor perikanan yang berkembang
pesat di Indonesia yaitu rumput laut. Rumput laut atau alga laut (sea weed)
merupakan salah satu komoditas perikanan yang telah dimanfaatkan sejak lama (Armiyanti,
2013). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perikanan bukan hanya diartikan
sebagai proses menangkap ikan saja tetapi juga mengumpulkan kerang-kerangan,
rumput laut dan sumber daya hayati lain dalam suatu wilayah geografis perairan
tertentu.
Perikanan merupakan salah
satu bidang yang diharapkan mampu menjadi penopang peningkatan kesejahteraan
rakyat Indonesia. Sub sektor perikanan dapat berperan dalam pemulihan dan
pertumbuhan perekonomian bangsa Indonesia karena potensi sumberdaya ikan yang
besar dalam jumlah dan keragamannya. Selain itu, sumberdaya ikan termasuk sumberdaya
yang dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga dengan
pengelolaan yang bijaksana, dapat terus dinikmati manfaatnya (Irhamni, 2009).
Pengelolaan perikanan
dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan bahan pangan protein hewani,
mendorong pertumbuhan industri melalui penyediaan bahan baku, meningkatkan
devisa melalui peningkatan ekspor hasil perikanan dan menyediakan kesempatan
kerja serta meningkatkan pendapatan nelayan, sehingga sektor perikanan dan kelautan
menjadi salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional (Irhamni, 2009).
Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP-NRI) 716 meliputi wilayah perairan Laut Sulawesi dan perairan sebelah
utara Pulau Halmahera yang tercakup dalam wilayah administrasi 5 provinsi
yaitu: Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku
Utara. Sedangkan untuk Laut Sulawesi sendiri membentang disebelah utara
provinsi Sulawesi Utara dan dibatasi oleh Samudera Pasifik dan kepulauan Sulu,
Laut Sulu dan Kepulauan Filipina di bagian utara. Di sebelah timur dibatasi
oleh rantai kepulauan Sangihe, dan di sebelah barat berbatasan langsung dengan
perairan Tarakan (Kalimantan Utara). Perairan laut ini berbentuk basin besar,
dan kedalamnya mencapai 6.200 m. Memanjang 420 mil (675 km) utara-selatan
dengan 520 mil (837 km) timurbarat dan wilayah permukaan totalnya 110.000 mil
persegi (280.000 km persegi). Arus laut yang kuat, parit samudera yang dalam
dan gunung laut yang tinggi, bergabung dengan pulau vulkanik, mengakibatkan
terbentuknya ciri oseanografis yang kompleks. Laut Sulawesi terletak di
subequatorial dan zona equatorial (latitude 1o – 14oN), mendapatkan pengaruh
iklim tropis monsoon yang menghasilkan curah hujan tahunan melebihi 1000 mm di
beberapa daerah (berkisar antara 500 mm - > 5000 mm per tahun) dan rata-rata
suhu minimum > 20oC. Terdapat sekitar 8 sungai besar dan lebih dari 79
sungai sedang dan kecil yang bermuara ke Laut Sulawesi. Laut Sulawesi menerima
masukan masa air oseanik permukaan dari arus ekuatorial utara, arus ini masuk
ke wilayah Laut Sulawesi dari arah timur laut ekuator melalui koridor Sangihe
dan Talaud, sementara aliran arus bawah permukaan mengalir dengan arah yang
berlawanan. Arus permukaan mengalir ke selatan melalui Selat Makasar dan antara
Sulawesi dan Morotai-Halmera, kondisi ini berpengaruh terhadap aliran masa air
dari Pasifik ke Samudera Indonesia. Arus lokal dihasilkan dari “eddies” yang
komplek (pusaran masa air) dan arus berlawanan. Arus permukaan Teluk Manado
dipengaruhi pasang surut. Tipe arus pasut di Teluk Manado merupakan arus pasut
bolak balik (reversing curent) (Rahmadi, 2015).
3.2
Ekonomi Makro
Kemiskinan merupakan masalah kompleks
dan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi tetapi juga
kegagalan memenuhi hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau
sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar
yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan
maupun laki-laki (Aneta, 2010).
Di Provinsi Gorontalo jumlah penduduk
miskin dan tingkat kemiskinan berfluktuasi dari tahun 2006 sampai 2014. Dimana
jumlah penduduk miskin Provinsi Gorontalo mengalami penurunan dari tahun 2006
hingga 2012, yaitu dari 273.90 ribu jiwa tahun 2006 berkurang menjadi 186.44
ribu jiwa tahun 2012, kemudian naik lagi menjadi 191.44 ribu jiwa tahun 2013
dan 194.10 ribu jiwa tahun 2014 (Novriansyah, 2018).
Adapun tingkat kemiskinan di Provinsi
Gorontalo cukup berfluktuasi, dimana pada tahun 2006 tingkat kemiskinan
Provinsi Gorotalo sebesar 29.13% kemudian mengalami penurunan tahun 2007 dan
2008 yaitu 27.35% dan 24.88%. Pada tahun 2009 naik lagi menjadi 25.01% dan
kembali turun pada tahun 2010, 2011, dan 2012 yaitu 23.19% ; 18.75% dan 17.33%.
naik lagi pada tahun 2013 menjadi 17.51% dan turun pada tahun 2014 menjadi
17.44% (Novriansyah, 2018).
Namun demikian secara umum terlihat
bahwa angka kemiskinan di Provinsi Gorontalo ini berada jauh lebih tinggi
dibandingkan angka kemiskinan nasional. Hal ini jelas mengingat penduduk miskin
Gorontalo umumnya adalah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, yang
menyerap tenaga kerja paling banyak di Gorontalo. Baik Petani maupun Nelayan
memiliki modal terbatas dan rata-rata mereka adalah tenaga kerja musiman. Di
beberapa daerah pelosok Gorontalo, nelayan masih terjebak dengan praktek ijon
sehingga memperparah kondisi pendapatan mereka, dan pada akhirnya akses
terhadap pendidikan dan kesehatan mereka terbatas. Dari jumlah penduduk miskin
Provinsi Gorontalo, terbanyak berada di Kabupaten Gorontalo dengan jumlah
penduduk miskin terbesar yaitu 66.939 jiwa atau 18,87 %. Sedangkan jumlah
penduduk miskin terkecil berada di Kota Gorontalo yaitu 9.883 jiwa atau 5,49 % (Novriansyah,
2018).
Jika mengacu pada data BPS, tampak
jelas bahwa baik jumlah maupun presentase penduduk miskin di Provinsi
Gorontalo, terus mengalami penurunan secara konsisten, setidaknya selama
rentang waktu 2006/2014. Pada tahun 2006, presentasi penduduk miskin 29,13%
dari total penduduk. Dengan kata lain, setiap tiga penduduk di Provinsi
Gorontalo satu diantaranya terkategori miskin. Angka tesebut terus bergerak
turun hingga menjadi 17,41% pada tahun 2014. Membaiknya kinerja ekonomi makro,
seperti pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran, serta implementasi pembangunan
daerah berbasis pedesaan telah memberi kontribusi besar terhadap penurunan
jumlah penduduk miskin di Provinsi Gorontalo.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas
perlu didukung oleh kestabilan kondisi makroekonomi dalam efektifitas upaya
mengurangi jumlah angka kemiskinan. Inflasi merupakan salah satu variabel dalam
makroekonomi dan peristiwa moneter yang berkaitan erat dengan kemiskinan.
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk mengalami kenaikan dan
berlangsung secara terus-menerus. Rendahnya pendapatan dan tingginya harga
mengimplikasikan ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan hidup layak bagi
penduduk miskin. Hal tersebut seakan menegaskan pendapat bahwa inflasi
merupakan pajak atas orang miskin, karena orang miskin mengalokasikan sebagian
besar dari penghasilan mereka (atau hasil produksi, jika mereka menjadi pekerja
di sektor pertanian atau sektor informal di perkotaan) untuk bertahan hidup (Hapsoro,
2013).
Kondisi ekonomi makro secara nasional
tentunya berpengaruh terhadap kondisi perekonomian di tingkat daerah. Dinamika
ekonomi dan politik diberbagai tingkat pemerintahan juga memberikan andil yang
besar dalam perkembangan ekonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah, telah
mendorong banyak daerah untuk melakukan berbagai perubahan dalam kebijakan
pembangunan daerahnya. Namun demikian dari 440 kabupaten / kota menggambarkan
perkembangan yang tidak merata. Beberapa pemerintah daerah juga telah sadar
akan pentingnya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dan pentingnya peran
investasi dalam pembangunan ekonomi di daerah.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses
perubahan kondisi perekonomian suatu daerah yang secara berkesinambungan menuju
keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat
diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian
yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan
ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Provinsi Gorontalo adalah salah satu
dari hanya sedikit daerah pemekaran dengan geliat pembangunan yang sangat
dinamis. Data indikator makro memperlihatkan trend kenaikan yang cukup
signifikan dari tahun ke tahun. Dari sisi perkembangan sektor riil, indikator
pertumbuhan ekonomi Gorontalo, dalam rentang waktu 8 tahun sejak pemekaran
berada di atas rata-rata nasional; dengan pertumbuhan rata di atas 5%, dan/atau
rata-rata di atas pertumbuhan nasional. Pertumbuhan ekonomi Gorontalo tercatat
sebagai pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di regio Sulawesi pada tahun 2004 setelah
Sulawesi Tenggara. Berkaitan dengan data perkembangan daerah di atas, provinsi
Gorontalo telah dapat dikatakan mampu melakukan pembangunan daerah dengan
sangat baik. Provinsi Gorontalo telah mampu melakukan perubahan-perubahan besar
dalam percepatan pertumbuhan ekonomi yang menjadi salah satu kriteria
keberhasilan daerah atau provinsi dalam melakukan pembangunan (Marzaman, 2018).
3.3
Komoditas Perikanan Unggulan
Wilayah perairan laut Provinsi
Gorontalo sangat potensial dengan jenis ikan Tuna (Thunnus sp), Cakalang
(Katsuwonus pelamis), Layang (Decapterus russeli), Tongkol (Eutaynnus sp) dan
Teri (Stolephorus spp). Selain itu juga terdapat berbagai jenis ikan pelagis
kecil dan demersal yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi di wilayah
perairan ini. Hasil tangkapan ikan pelagis besar sebanyak 1.550 ton/tahun, ikan
pelagis kecil 5.394 ton/tahun dan ikan demersal sebanyak 5.456 ton/tahun (DPK,
2010). Menurut data statistik perikanan tangkap di Provinsi Gorontalo, ikan
teri (Stolephorus.Sp) mencapai 6.293,3 ton/tahun dan hasil produksi olahan
perikanan ikan teri asin kering mencapai 322 ton/tahun (DPK, 2012). Teknologi
penangkapan ikan yang digunakan di Provinsi Gorontalo, yaitu purse seine (pukat
cincin), long line (rawai tuna), pole and line (huhate), handline (pancing),
dengan rumpon, lift net (bagan), dan gill net (jaring insang). Adapun alat
tangkapan yang digunakan untuk menangkapan ikan teri yaitu bagan (lift net)
(DPK, 2010).
Ikan teri (Stolephorus sp) banyak
ditangkap karena mempunyai arti penting sebagai bahan makanan yang dapat
dimanfaatkan baik sebagai ikan segar maupun ikan kering. Pengawetan ikan teri
dengan cara pengeringan terdiri dari dua proses, yaitu proses penggaraman dan
proses pengeringan. Adapun tujuan utama dari penggaraman, yaitu untuk
memperpanjang daya tahan dan daya simpan ikan. Ikan yang mengalami proses
penggaraman menjadi awet karena garam dapat menghambat atau membunuh mikroba
penyebab pembusukan ikan (Mobonggi, 2014).
Ikan layang merupakan salah satu
komponen perikanan pelagis yang sangat penting di Indonesia. Ikan yang
tergolong suku Carangidae ini biasanya hidup bergerombol dan merupakan salah
satu ikan yang banyak diminati oleh masyarakat. Mencermati pentingnya
sumberdaya ikan bagi kebutuhan manusia baik pemenuhan gizi maupun kegiatan
perekonomian, mendorong manusia untuk mengeksploitasi ikan sebanyak-banyaknya. Diantara
jenis-jenis ikan yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kelurahan
Tenda Kecamatan Hulonthalangi Kota Gorontalo, ikan layang (Decapterus russelli)
merupakan ikan yang tertangkap sepanjang tahun dan menempati tempat teratas
diantara ikan-ikan pelagik lainnya. Ikan layang merupakan bagian terbesar dari
keseluruhan hasil tangkapan pukat cincin. Disamping itu ikan ini merupakan ikan
yang cukup digemari oleh masyarakat dan harganyapun terjangkau. Selain berperan
cukup besar dalam penyediaan protein hewani untuk pemenuhan gizi, ikan layang
juga berperan dalam meningkatkan sumber pendapatan dan memberikan lapangan
pekerjaan khususnya bagi penduduk sekitarnya. Keadaan pasar yang baik dan
permintaan yang banyak terhadap ikan layang merangsang nelayan untuk
meningkatkan usaha penangkapannya, sedangkan tingkat pemanfaatannya belum
optimal. Oleh karena itu dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi yang berlebih
terhadap ikan layang tersebut sehingga dapat menggagu kelestariannya.
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis
L.) juga tergolong sumberdaya perikanan pelagis penting dan merupakan salah
satu komoditi ekspor nir-migas. Ikan cakalang terdapat hampir di seluruh
perairan Indonesia, terutama di Bagian Timur Indonesia (Kekenusa, 2012)
Ikan cakalang merupakan produk
andalan Provinsi Sulawesi Utara yang bernilai ekonomis tinggi. Dikatakan
demikian karena spesies ikan ini digunakan sebagai bahan baku oleh berbagai
jenis industri pengolahan seperti cakalang fufu, ikan kayu, ikan kaleng, abon
cakalang, dan masih banyak lagi produk olahan yang menggunakan ikan cakalang
sebagai bahan baku. Untuk mengolah berbagai produk tersebut memerlukan pula
investasi untuk membangun kapal, pabrik pengolahan, pabrik es, gudang beku dan
lembaga pemasaran. Kegiatan investasi tersebut pada akhirnya menyerap banyak
tenaga kerja sehingga banyak orang beroleh pendapatan yang pada gilirannya
mendorong perekonomian makro regional bergerak maju dan berkembang pesat (Lumi,
2013).
Ikan cakalang adalah nama dagang
lokal Sulawesi Utara. Untuk wilayah pasar yang lebih luas dipakai skipjack tuna
sebagai nama dagang internasional. Nama ini diambil dari bahasa Inggris,
sedangkan nama ilmiah di sebut Katsuwonus pelamis di ambil dari bahasa Jepang
yang artinya ikan keras. Secara biologis Ikan cakalang, suka hidup bergerombol
(schooling fish), pemangsa yang rakus dan merupakan ikan perenang cepat lebih
dari 10 mil per jam. Secara ekonomis ikan cakalang memberikan kontribusi besar
yang di tunjukan oleh sebagian besar masyarakat pesisir memiliki pekerjaan
sebagai nelayan baik pada usaha penangkapan, pengolahan, perdagangan dan
industri penunjang.
Ikan cakalang juga tercatat
sebagai komoditi ekspor baik dalam bentuk segar, beku maupun olahan. Dari
kegiatan ekspor tersebut negara Indonesia khususnya Sulawesi Utara mendapat
tambahan devisa yang penting bagi keseimbangan neraca perdagangan luar negeri.
Devisa yang masuk ke Sulawesi Utara akan menyebabkan peningkatan kesejahteraan
penduduk.
Kota Gorontalo mempunyai potensi
yang cukup besar dalam mengembangkan produksi ikan cakalang. Menurut data yang
diperoleh dari Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kota Gorontalo (2007), produksi
ikan cakalang di Kota Gorontalo, pada tahun 2007 mencapai 106.040 ton/tahun,
sedangkan produksi pada tahun 2008 mencapai 206.570 ton/tahun, kemudian pada
tahun 2009 mencapai 266.280 ton/tahun. Produksi perikanan tangkap kota
Gorontalo adalah 51,3% dari produksi tahunan perikanan Provinsi Gorontalo
(Bustami, 2011). Salah satu produksi perikanan tangkap yang bernilai ekonomis
penting dan paling banyak didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kota
Gorontalo adalah ikan cakalang setelah ikan layang pada peringkat pertama. Ikan
cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi dan peluang untuk permintaan pasar yang sangat terbuka, akan tetapi
dalam hal upaya memperolehnya nelayan hanya mengandalkan hasil tangkapan yang
berasal dari alam yang dilakukan secara terus menerus, sehingga hal ini
dikhawatirkan akan menimbulkan suatu dampak negatif terhadap kondisi
populasinya (Tilohe, 2014).
3.4
Pembangunan Perikanan
Berkenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi di bidang kelautan dan perikanan, dengan direvisinya UU no. 22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah menjadi undang-undang nomor 32 tahun
2004 yang merestruktur dan meredefinisikan peranan pemerintah, Provinsi dan
kabupaten/kota, diharapkan akan lebih memperjelas peranan pemerintah terhadap
pengelolaan di bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan fungsi masing-masing
tingkatan pemerintahan.
Dalam pasal 18 UU no. 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah secara tegas disebutkan bahwa : daerah
yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut. Kewenangan dimaksud meliputi : (a) Eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (b) Pengaturan
administratif; (c) Pengaturan tata ruang; (d) Penegakan hukum terhadap
peraturan yang dikeluarkan daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh
pemerintah; (e) Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan (f) Ikut serta
dalam pertahanan kedaulatan negara.
Demikian pula daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan
sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam pasal 18 UU no. 32 tahun 2004 juga di atur batas
kewenangan pengelolaan di wilayah laut oleh daerah, yaitu 12 mil laut untuk
Provinsi dan sepertiga dari wilayah kewenangan Provinsi untuk kabupaten/kota.
3.5
Konsep Pembangunan Perikanan Tangkap
Berkelanjutan
Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha
perubahan dari suatu yang nilai kurang kepada sesuatu yang dinilai baik. Dengan
kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan
usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan
produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan
melalui penerapan teknologi yang lebih baik.
Konsep pembangunan
berkelanjutan muncul dari kesadaran lingkungan dan kecemasan akan makin
merosotnya kemampuan bumi untuk menyangga kehidupan. Pembangunan berkelanjutan
ini tentunya mencakup semua sektor pembangunan, termasuk di dalamnya adalah
sektor perikanan. Istilah perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) mulai
dijadikan agenda dunia pada tahun 1995 dengan merumuskan konsep pembangunan
perikanan berkelanjutan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dengan
menyusun dokumen Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab atau Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) (FAO, 1995). Aktivitas perikanan yang
berkelanjutan dapat dicapai melalui pengelolaan perikanan yang tepat dan
efektif, yang umumnya ditandai dengan meningkatnya kualitas hidup dan
kesejahteraan manusianya serta juga terjaganya kelestarian SDI dan kesehatan
ekosistemnya. Pembangunan perikanan yang berkelanjutan harus dapat
mengakomodasi empat aspek utama yang mencakup dari hulu hingga hilir, yakni:
a.
Keberlanjutan
ekologi (ecological sustainability): memelihara keberlanjutan stok/biomassa SDI
sehingga pemanfaatannya tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan
kapasitas dan kualitas ekosistemnya.
b.
Keberlanjutan
sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability): memperhatikan keberlanjutan
kesejahteraan para pelaku usaha perikanan dengan mempertahankan atau mencapai
tingkat kesejahteraan masyarakat yang layak.
c.
Keberlanjutan
komunitas (community sustainability): menjaga keberlanjutan lingkungan
komunitas atau masyarakat perikanan yang kondusif dan sinergis dengan
menegakkan aturan atau kesepakatan bersama yang tegas dan efektif.
d.
Keberlanjutan
kelembagaan (institutional sustainability): menjaga keberlanjutan tata kelola yang
baik, adil, dan bersih melalui kelembagaan yang efisien dan efektif guna
mengintegrasikan atau memadukan tiga aspek utama lainnya (keberlanjutan
ekologi, keberlanjutan sosio-ekonomi, dan keberlanjutan masyarakat).
Salah satu lembaga
yang terkait dengan pelaksanaan perikanan berkelanjutan, Marine Stewardship
Council, mendefinisikan perikanan berkelanjutan sebagai salah satu cara
memproduksi ikan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung
terus menerus pada tingkat yang wajar dengan mempertimbangkan kesehatan
ekologi, meminimalkan efek samping yang mengganggu keanekaragaman, struktur,
dan fungsi ekosistem, serta dikelola dan dioperasikan secara adil dan
bertanggung jawab, sesuai dengan hukum dan peraturan lokal, nasional dan
internasional untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan generasi masa
depan (Deere, 1999). Sementara itu, Hilborn (2005) menyatakan bahwa definisi
perikanan berkelanjutan adalah: aktivitas perikanan yang dapat mempertahankan
keberlangsungan hasil produksi dalam jangka panjang, dengan menjaga
keseimbangan ekosistem antar generasi, dan memelihara sistem biologi, sosial,
dan ekonomi guna menjaga kesehatan ekosistem manusia dan ekosistem laut.
Dengan demikian,
dalam melaksanakan pembangunan perikanan berkelanjutan tidak lepas dari
memadukan tujuan dari tiga unsur utamanya, yakni dimensi ekonomi, ekologi, dan
sosial. Pertama, tujuan pembangunan perikanan secara ekonomis dianggap
berkelanjutan, jika sektor perikanan tersebut mampu menghasilkan produk ikan
secara berkesinambungan (on continuing basis), memberikan kesejahteraan
finansial bagi para pelakunya, dan memberikan sumbangan devisa serta pajak yang
signifikan bagi negara. Kedua, tujuan pembangunan perikanan dikatakan secara
ekologis berkelanjutan, manakala basis ketersediaan stok ikan dapat dipelihara
secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, dan tidak terjadi
pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat
mengakibatkan kondisi tercemar. Ketiga, tujuan pembangunan perikanan dianggap
secara sosial berkelanjutan, apabila kebutuhan dasar (pangan, sandang,
kesehatan, dan pendidikan) seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi
pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender
equity), dan minim atau tidak ada konflik sosial.
3.6
Pengembangan Kapasitas Nelayan
Pengembangan kapasitas (capacity
building) didefinisikan sebagai peningkatan kompetensi individu,
lembaga-lembaga sektor publik, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan
masyarakat lokal yang terlibat dalam kegiatan secara berkelanjutan yang
berdampak positif terhadap pembangunan seperti pengentasan kemiskinan,
peningkatan kualitas pemerintahan maupun memenuhi Millenium Development Goals
(MDGs) (Hope, 2009). Secara umum tujuan pengembangan kapasitas tentu agar
individu, organisasi, maupun sistem yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif
dan efisien untuk mencapai tujuan dari individu maupun organisasi tersebut.
Soeprapto (2010) menjelaskan untuk melakukan pengembangan kapasitas dilaksanakan
dalam tiga tingkatan yang harus dilaksanakan secara efektif dan
berkesinambungan yaitu: 1) Tingkatan sistem, yang berhubungan dengan pengaturan
yang mendukung pencapaian tujuan kebijakan tertentu; 2) Tingkatan
institusional, seperti struktur organisasi, proses pengambilan keputusan,
prosedur pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana, hubungan dan jaringan
organisasi; 3) Tingkatan individual, antara ketrampilan individu dan
persyaratannya, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi
pekerjaan di dalam organisasi. Nelayan tangkap merupakan tingkat individual
bagian terpenting dalam kegiatan perikanan dalam pengembangan kapasitas.
Sebagai sebuah komunitas, nelayan memiliki beberapa karakteristik yang berbeda
dengan komunitas lainnya yang melakukan aktivitas di pesisir dan laut untuk
keberlangsungan hidup serta memiliki sifat tradisional dengan alat tangkap
sederhana baik tanpa maupun dengan motor (Indarti dan Dwiyadi, 2013). Dalam hal
ini Pollnac (1988) telah menguraikan bahwa untuk menjadi seorang nelayan
umumnya tidak memperhatikan faktor pendidikan formal, melainkan fisik yang kuat
untuk melakukan pekerjaan berat. Penelitian Anwas (2009) menyatakan bahwa
pendidikan formal bisa meningkatkan kompetensi apabila kurikulum dan proses
pembelajarannya sesuai dengan tuntutan pekerjaan individu yang bersangkutan.
Upaya peningkatan kompetensi hanya bisa dilakukan melalui proses belajar.
Belajar di sini dalam arti luas, tidak terbatas pada pendidikan formal saja
melainkan juga informal (Anwas 2013). Rogers (1983) menyatakan bahwa nelayan
sebagai manusia mempunyai potensi alami untuk belajar. Mengacu pada dua
pendapat tersebut maka untuk mencapai keberhasilan, manusia harus berusaha
untuk meningkatkan kapasitasnya melalui bekerja dan belajar. Proses
pembelajaran dapat membuat nelayan bertumbuh dan berkembang sehingga mampu
menjadi mandiri. Kemampuan belajar seseorang tidak saja ditentukan oleh potensi
yang mereka miliki atau dari faktor internal, tetapi juga ditentukan oleh
faktor eksternal. Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh
lingkungannya, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi) maupun lingkungan
horizontal (geografik, fisik, sosial). Perilaku manusia akan terbentuk tidak
saja secara alami, tetapi juga karena faktor lingkungan keluarga maupun
masyarakat secara umum (Ndara 1990). Indikator kunci pada pengembangan
kapasitas diri nelayan adalah pengetahuan, kompetensi, mental, komitmen dan
pemahaman peraturan-perundangan yang dapat menjadi landasan pengembangan
programprogram pemberdayaan masyarakat nelayan yang bersifat bottom-up. Dalam
model struktural, aspek keterampilan berpengaruh nyata terhadap aspek
kompetensi nelayan, sedangkan aspek pengetahuan dan aspek sikap diri tidak
berpengaruh nyata terhadap aspek kompetensi secara langsung. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kapasitas diri nelayan dipengaruhi oleh keterampilan mereka
dalam melakukan operasi penangkapan ikan.
3.7
Investasi Usaha Perikanan Tangkap
Terpadu
Dalam rangka mendorong pengembangan
ekonomi nasional, khususnya di bidang perikanan tangkap, telah dilakukan
pengembangan investasi secara terpadu. Sampai dengan tahun 2014 realisasi
investasi terpadu mencapai Rp 9,99 trilyun. Sebagian besar realisasi investasi
terkonsentrasi di wilayah Indonesia Bagian Tengah (Bali, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara, dan Maluku) dan Indonesia Bagian Timur (Papua dan Papua Barat),
yakni sebesar Rp 8,01 trilyun atau mencapai 81% dari total realisasi investasi.
Adapun provinsi yang menjadi tujuan investasi adalah Sulawesi Utara, Maluku,
DKI Jakarta, dan Bali, dengan realisasi investasi mencapai Rp 7,23 trilyun atau
72,80 % dari total realisasi investasi (DJPT, 2015).
3.8
Minapolitan Perikanan Tangkap
Minapolitan merupakan konsep
pembangunan kelautan dan perikanan berbasis manajemen ekonomi kawasan dengan
tujuan untuk: 1) Meningkatkan produksi, produktivitas, dan kualitas produk
perikanan, 2) Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha dan
pengolah ikan yang adil dan merata, dan 3) Mengembangkan pusat pertumbuhan
ekonomi daerah. Pengembangan kawasan minapolitan didukung oleh
kementerian/lembaga terkait, antara lain Kementerian Pekerjaan Umum. Kawasan
minapolitan perikanan tangkap yang telah berhasil dibangun diantaranya di
kabupaten Cilacap dan kabupaten Gorontalo Utara.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh
berdasarkan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Ekonomi
Perikanan merupakan bidang yang unik karena sifat sumber dayanya fugitive dan
kompleksitas pengelolaannya menuntut kajian tersendiri.
2.
Peningkatan
tingkat ekonomi perikanan akan berdampak positif juga bagi perekonomian daerah
bahkan negara dan juga bagi tingkat lapangn kerja.
3.
Komoditas
unggulan pada sektor perikanan di daerah kota Gorontalo ada ikanlayang, ikan
cakalang dan juga ikan teri
4.
Perikanan
merupakan salah satu bidang yang diharapkan mampu menjadi penopang peningkatan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Sub sektor perikanan dapat berperan dalam
pemulihan dan pertumbuhan perekonomian bangsa Indonesia karena potensi sumberdaya
ikan yang besar dalam jumlah dan keragamannya.
4.2
Saran
Saran yang dapatdiberikan berdasarkan
makalah yang telah diperbuat adalah sebagai berikut :
1.
Sebaiknya
penulis perlu untuk mempertimbangan data-data yang lain agar makalah ini lebih
optimal
2.
Sebaiknya
pemerintah bisa untuk lebih memperhatikan potensi tiap daerah di Indonesia
3.
Sebaiknya
pemerintah mengoptimalkan penyaluran bantuan kepada rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Aneta, A. 2010.
Implementasi Kebijakan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di
Kota Gorontalo. Jurnal Administrasi
Publik, 1(1) : 54-65.
Armiyanti,N.P. N. N. 2013. Tingkat
Produktivitas Budidaya Rumput Laut pada Perairan Pantai di Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung.
Skripsi. Jurusan Pendidikan Geografi Universitas
Pendidikan Ganesha. Singaraja.
DJPT. (2015). Rencana
Strategis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan
Perikanan tahun 2015-2019. DJPT-KKP. 132 hal.
Fauzi, A. 2010.
EKONOMI PERIKANAN Teori, Kebijakan, dan
Pengelolaan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 211 hlm.
Hapsoro, D. N. Y. dan
Gunanto. 2013. Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi Regional terhadap
Tingkat Kemiskinan Perkotaan. Diponegoro
Journal of Economics,
2(2) : 1-12.
Hilborn, R. 2005 "Are Sustainable Fisheries Achievable?"
Chapter 15, pp. 247–259. Marine Conservation Biology: The Science of
Maintaining the Sea's Biodiversity.
Kekenusa, J.S. V. N. R. Watung, dan D.
Hatidja. 2012. Analisis Penentuan Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Manado
Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Sains,
12(2) : 112-119.
Lumi, K. W, E. Mantjoro, dan M.
Wagiu. 2013. Nilai Ekonomi Sumberdaya Perikanan di Sulawesi Utara (Studi Kasus
Ikan Cakalang, Katsuwonus pelamis). Jurnal
Ilmiah Platax, 1(2) : 74-80.
Manik, H. M. 2014. Teknologi Akustik Bawah Air
Solusi Data Perikanan Laut Indonesia. Risalah Kebijakan Pertanian dan
Lingkungan, 1(3) : 181-186.
Marzaman, A. 2018. Internasionalisasi Kota:
Gorontalo, Berkearifan Lokal Berwawasan Global. Journal of Government and
Political Studies, 1(1) : 52-62.
Mobonggi, L. A. S. Naiu, dan L. Mile. 2014. Uji
Formalin pada Ikan Teri Asin Kering di Kota Gorontalo. Jurnal Ilmiah Perikanan
dan Kelautan, 2(1) : 1-3.
Novriansyah, M. A. 2018. Pengaruh Pengangguran
dan Kemiskinan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Gorontalo
Development Review, 1(1) : 59-73.
Rahmadi, P dan R. Puspasari. 2015. Dinamika Ekologi Laut
Sulawesi (WPP 716) Sebagai Daya Dukung Terhadap Perikanan Malalugis (Decapterus
macarellus Cuvier, 1833). J. Lit. Perikan. Ind., 21(2) : 95-102.
Tibrani. 2018. Peranan Subsektor Perikanan
dalam Menunjang Perekonomian Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Agribisnis,
20(2) : 206-217.
Tilohe, O., S. Nursinar, dan A. Salam. 2014. Analisis
Parameter Dinamika Populasi Ikan Cakalang yang Didaratkan di Pangkalan
Pendaratan Ikan Kelurahan Tenda Kota Gorontalo.
Nikè:Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.2(4) : 140-145.